Powered By Blogger

Rabu, 21 Desember 2011

Mutiara Tak Bersinar

Mutiara Tak Bersinar
Suatu pagi seorang gadis belia berusia 9 tahun mulai membuka mata yang terlihat sayup dari tidurnya. Rahma Kartika, itulah nama gadis dengan tubuh mungil, kurus dan berkulit hitam. Jam waker kecil di atas meja yang selalu menemani tidurnya berdering keras tepat pukul 04.00 pagi. Wajah kusam, bau, tubuh kurus serta kulit gelapnya itu selalu ia lihat sendiri di depan cermin seolah berbicara bahwa mutiara itu benar-benar tak bersinar dari dalam dirinya. Saat itu pula ia mulai menyadari bahwa dunia pagi dan hari baru menyambutnya dengan membawa sebuah isyarat bahwa ia harus bangkit untuk memulai aktivitas panjangnya. Penjual kue keliling, itulah pekerjaan yang harus ia pikul seorang diri semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia akibat gempa bumi dahsyat yang menerpa kampungnya beberapa bulan yang lalu. Dari tangan dan jemari mungilnya itulah terlihat sebuah gambaran betapa kerasnya kehidupan ini untuk ia hadapi seorang diri beserta adik kecinya yang masih berusia 6 tahun.
            Setiap subuh ia harus beranjak dari tidurnya untuk membuat adonan kue yang hendak dijualnya di berbagai tempat, seperti sekolah, trotoar maupun dari warung ke warung. Jemarinya yang masih mungil serta badan yang masih jauh dari ukuran ideal itu harus membawa 3 kotak kue setiap hari dengan seorang diri. Hingga suatu ketika ia tiba pada sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumahnya. Melalui celah dari sudut sebuah jendela, Rahmi mengintip suasana kelas yang begitu kondusif dengan seorang guru perempuan yang berwibawa dan begitu telaten dalam mengajar serta murid-murid yang begitu aktif dalam pelajaran Bahasa Inggris. “Okey, everybody. Let’s open your book and we’re going to continue our discussion. Is there anyone who can give me the summary of last meeting lesson?” dengan sabarnya ia mengajar. Kemudian salah seorang murid laki-laki mengangkat tangannya. “Me, mom,” dengan lantangnya. “Okey, our last discussion is about the characteristic of elephant. It has a short tail, thick of black skin, large ears and eyes, long and strong trunk with the biggest body. Hmm,, I think that’s my opinion, mom.” Katanya dengan penuh percaya diri. Kemudian seluruh murid serentak memberikan tepuk tangan kepadanya.

            Dengan tanpa ia sadari, tiba-tiba Rahma memasuki ruang kelas tersebut dengan rasa percaya diri. Spontan suasana kelas menjadi tercengang melihat seorang gadis mungil dengan badan kotor tak terawat, pakaian kumuh dan bau serta bertumpuk-tumpuk kotak kue dijinjing dan dipikulnya di atas kepala. Kemudian ia menyahut, “No, that wasn’t perfect answer. He didn’t mention the last thing which elephant had. And the last body partner of elephant is a tusk. It has two strong tusks between its trunk, mom.” Kemudian dengan lantang Ibu Guru bertanya, “Siapa kau gadis cerdas?”
“Saya Rahma, penjual kue keliling yang biasa berjualan di depan gerbang sekolah ini, Bu.” jawabnya dengan jujur. “Lalu apakah kamu tidak sekolah, Nak?” tanya guru tersebut. “Tidak, Bu. Saya seorang yatim piatu yang harus membanting tulang sendirian demi sesuap nasi untuk saya dan adik kecil saya,” jawab Rahma dengan wajah murung dan sedih. ”Benarkah? Kamu secerdas ini harus hidup seorang diri, Nak? Baiklah, Ibu telah melihat ketulusan hati dan kecerdasan dari dalam dirimu. Ibu akan memasukkanmu ke sekolah ini serta membiayai semua kebutuhanmu, Nak. Tapi kau harus berjanji untuk selalu berprestasi dan menjadi anak yang selalu berbakti kepada orang-orang yang telah menyayangimu,” menuturkan dengan penuh ketulusan.
            Rahma tak sanggup berkata apa pun, selain mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam atas segala kebaikan dan kemuliaan hati guru tersebut. “Terima kasih banyak atas kebaikan Ibu kepada saya. Namun saya merasa tidak pantas untuk masuk ke sekolah ini dengan diri saya yang sangat hina ini, bau, kotor dan bodoh. Saya tidak mau teman-teman di sekitar saya menjadi terganggu belajarnya hanya gara-gara saya, Bu.”  Kemudian Ibu Guru menjawab, “Tidak, anakku. Kau begitu cantik dan cerdas. Sudah sepantasnya seorang guru sepertiku untuk mendukung dan memberikan kesempatan sekolah kepada anak berprestasi sepertimu. Terimalah hadiah kecilku ini! Kedua orang tuamu pasti akan bangga ketika anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang baik, berbakti serta berprestasi. Jadilah mutiara yang bersinar terang melalui bangku sekolah ini.”
“Baiklah, Bu. Terima kasih banyak atas semua kebaikan Anda. Saya akan besungguh-sungguh sekolah agar Ayah dan Ibu tersenyum di atas sana,” jawab Rahma dengan penuh gembira. Mereka pun berpelukan dan disusul oleh murid-murid di kelas itu dengan berjabatan tangan.
            Tiga bulan kemudian Rahma terlihat lebih cantik, bersih dan semakin berprestasi di sekolah barunya. Keaktifan serta peringkatnya di dalam kelas, terutama pada pelajaran Bahasa Inggris, membuat para guru terus merasa takjub dan bangga kepadanya. Hingga pada akhirnya ia dikirim untuk mewakili sekolahnya pada ajang “National English Debating Competition.” Itu merupakan kesempatan emas bagi Rahma setelah sekian lama memiliki harapan dalam berkompetisi Bahasa Inggris.
        Beberapa hari kemudian sebuah pengumuman datang dari Kepala Sekolah untuk Rahma. “Congratulation, Rahma. You’re the best one. You won the competition. We’re really proud of you. Tidak heran jika kami menyebutmu bagaikan mutiara yang bersinar sangat indah, Anakku” ucap Kepala Sekolah dengan sangat bangga. “Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih atas segala rahmat-Mu, Ya Allah. Kini mutiara itu bukanlah tak bersinar, namun sudah sangat terang cahayanya.”

                                                                                                            _Rinta Alvionita_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar